Rumah itu Dirimu Sendiri

Rumah itu Dirimu Sendiri
Sumber:  Freepik.com


"It takes hands to build a house,  but only hearts can building  a home"

 . 

Rumah yang kucari Ketika terbayang “Rumah”, aku pernah kehilangan satu tempat yang sangat nyaman untuk melindungi diriku. Melindungi diriku ketika ada badai, angin, hujan dan teriknya matahari sekali pun, aku akan berlari ke tempat yang paling nyaman itu. 

Tapi senyaman-nyaman sebuah “rumah” ternyata tidak semua rumah itu adalah nyaman bagi setiap individu. Aku terpelosok atau terjebak ke dalam angan-angan rumah yang ideal adalah rumah dengan bangunan yang bergaya modern minimalis. Modern minimalis mengutamakan efisiensi, baik bentuk maupun fungsi yang sederhana dan ruang tertata rapi. Desain sangat sederhana, ruang serba terbuka, dinding interior minimalis, tidak ada sekat-sekat antara ruang, jadi ruang tamu bersatu dengan ruang makan, bahkan ruang tidur hanya dibatasi sekat untuk menuju ke atas di lantai dua, tempat penyimpanan serba minimalis. 

Namun, rumah yang berharga itu ternyata hanya sebuai Impian. Setiap orang tak bisa meraih apa yang diimpikan itu karena ada hambatan di dalamnya. Rumah dengan bentuknya yang indah itu tak diisi dengan orang-orang yang saling mengasihi dan mencintai. Di rumah yang mewah sekali pun, rumah hanya sekedar tempat pembaringan setelah menghabiskan kegiatan sehari yang melelahkan. 

Tak ada pelukan dan kehangan cinta yang selalu bersama-sama untuk bisa menghadapi tantangan, hambatan dan kesulitan hidup ini. Tantangan di pekerjaan, di sekolah membuat kita bertemu dengan orang-orang yang toksik, bahkan tak menemukan titik temu yang diinginkan dalam pekerjaan. 

Satu-satunya harapan untuk diriku dan sebagian orang tentang fungsi rumah bukan lagi sebuah bangunan yang indah tapi sebuah tempat yang menghadirkan orang-orang datang dengan segala tumpah ruahnya isi hati yang sedang gundah gulana. 

Betapa nyamannya bila kami dapat sharing dengan orang-orang terdekat tentang kegelisahan karena apa yang diimpikan tak selalu tercapai, meskipun usaha sudah optimal. Bahkan, kami dapat membagikan kebahagiaan karena prestasi yang tercapai di sekolah. Prestasi yang merupakan kebanggaan kami karena mendapatkan nilai yang baik di sekolah, atau prestasi kerja di tempat kerja. 

Aku sendiri kadang-kadang merasa rumah adalah sebuah tempat aku harus mendengar bukan didengarkan. Keluhan dari orang tua yang tak pernah habis-habisnya karena mereka satu sama lainnya tak pernah cocok dan saling melemparkan kesalahan. Aku seolah terjepit di tengah keributan kedua orang tuaku. Ibu mulai keluhkan ayah yang tak pernah peduli dengan keinginannya. Sementara ayah amengeluh karena ibu dianggap otoriter. 

Lalu, bagaimana diriku? Apakah aku harus jadi pendengar setia saja. Pendengar yang juga memiliki kelelahan mental sama seperti mereka. 

Pulang tanpa rasa pulang 


Kehidupan terus bergulir tanpa pernah berhenti. Aku sudah kehilangan ayahku karena serangan jantung ketiga kalinya. Aku akan berangkat kerja saat telepon berdering berkali-kali. Jam sudah menunjukkan waktu berangkat kerja, aku pikir siapa yang mengganggu sepagi itu. 

 Ternyata, justru tetangga di sebelah rumah, yang datang ke rumahku. Surti, tetanggaku memanggilku keras (era itu belum ada handphone) ada telpon dari rumah. “Deg”, rasanya aku tak pernah ditelpon dari rumah jika tak ada hal yang penting sekali. 

Terdengar suara sepupuku yang mengatakan aku harus segera pulang karena ayahku sudah kritis di rumah sakit. Padahal saat itu ayahku sudah meninggal. Tapi dia tak berani berterus terang apa yang terjadi. Aku pulang karena panggilan itu. 

Begitu aku tiba di rumah, aku agak bingung, suasana sangat sepi. Tak ada tanda-tanda orang di dalam rumah. Aku pikir pasti mereka semua berada di rumah sakit. Tiba-tiba seorang saudara datang dan mengatakan bahwa ayahku sudah berada di ruang duka, aku diminta segera datang. 

Aku yang mendambakan rumah itu sebagai keluarga yang hangat, sekarang menemukan rumahku itu bukan lagi keluarga utuh. Aku yang ingin menjauh dari ayah dan ibuku karena merasakan tidak adanya cinta utuh mereka untuk diriku. 

Sekarang saat aku melihat tubuh ayahku yang membujur kaku, warna kulitnya terutama mukanya membiru. Tangan dan kakinya sudah membeku. Senyumnya terlihat datar karena beliau sudah bebas dari sakit jantung yang menyerangnya hampir tiga kali. 

Secepatnya aku berdoa di depannya, aku merasakan bahwa aku sudah bersalah untuk selalu ingin mendapatkan validasi dari ayahku. Kenapa beliau selalu acuh dan tidak pernah mendengarkan apa yang aku keluhkan. 

Sunyi senyap di ruang duka karena aku hanya bersama dengan ibuku yang menyendiri dan tertunduk sedih. Kesenyapan itu ditandai dengan dinginnya ruang AC. Ruangan yang dindingnya dicat putih,  ukuran 3 x 4 meter, tersekat dinding tipis dengan ruangan lain.

Aku tertunduk lesu dan mendekati ibuku. Aku menyeka airmata ibu yang mengalir dan mengelus punggungnya. Tanpa kata-kata, aku berkata sangat lemah, “Kita kehilangan papi, dia sudah pulang ke rumah Bapa di Surga!”. 

Aku sadar aku terlalu menganggap cinta kedua orang tuaku tidak sepadan dengan apa yang kuimpikan. Kesadaranku untuk tidak membenci mereka karena kelemahan mereka adalah bagian kelemahan masa lalu mereka yang belum pulih. Hidup kompleks yang tak pernah terselesaikan di antara kedua orang tuaku, jadi ganjalan dalam hidupku. 

Dengan kesadaranku untuk mencintai mereka dalam segala kelemahannya harus kuterima dengan tangan dan hati yang terbuka. 

Aku tak bisa menunggu kakakku yang tidak dapat datang dari Belanda. Ayah harus segera dikremasikan dengan tenang dan damai. Kami berdua harus kembali ke rumah yang sesungguhnya ketika semua acara telah selesai. Suasana rumah itu makin sepi karena hilangnya seorang ayah yang biasanya suka menyendiri untuk membaca dan mengotak-atik mesin motor kunonya. 

Mencari di luar menemukan di dalam 


Kembali kepada kenangan masa kecilku. Aku selalu merasa kesepian menjadi anak terkecil. Meskipun kami berdua tapi kakakku berbeda usia cukup jauh, 12 tahun .. Aku masih ingin bermain, tapi kakakku sudah belajar fisika, matematika. 

Lalu, aku mencari orang atau teman yang mau kuajak bermain. Ibuku tak bisa bermain bersamaku Akhirnya, aku senang bertemu teman yang mau kuajak bicara atau menemaniku. 

Dimana aku bisa menemukan orang yang bisa kuajak bermain? Di rumah tetanggaku. Tetanggaku yang punya anak 8 orang, salah satunya bernama Rita (bukan nama sebenarnya) seusiaku. Aku senang Rita bisa menerima diriku, kita bicara, bermain dan kadang-kadang hanya tidur bersama. Aku merasa ada orang yang menerima dan mengerti diriku. 

Tamat SMA, aku harus ke luar rumah, pergi meninggalkan rumahku. Aku kuliah jauh dari rumahku. Tinggal di kamar kos yang cukup gaduh dan ramai, bayangkan enam orang tinggal dengan tiga ranjang susun. Kami sebagai mahasiswa perantau, sering saling curhat atau berinteraksi selesai pulang kuliah. Namun, Aku bukan tipe orang yang cepat beradaptasi seperti yang mereka lakukan, ada rasa takut dan kurang berdamai dengan orang-orang yang tak pernah kukenal sebelumnya. 

Aku mencoba mencari teman-teman yang kuanggap cocok di tempat kegiatan bergereja atau kuliah. Tapi kembali aku sering terbentur untuk berdamai dengan sikap orang yang belum mengenalku. 

Akhirnya, aku disadarkan untuk menemukan siapa diriku sebelum menerima orang lain. Damai untuk menerima diri sebelum meminta orang lain menerima aku. 

Terakhir, aku pulang ke rumah, tidak menemukan ibuku. Ternyata ibuku perlu teman untuk menghilangkan kesepian dengan melakukan kegiatan gereja, . Namun, aku tak lagi marah kenapa ibuku lebih mementingkan waktu untuk dirinya ketimbang diriku yang jauh-jauh datang dari luar kota. Aku sudah berdamai dengan diriku. 

Rumah Terbaik 


Pengembaraanku dari rumah fisik ke tempat yang tak pernah kukenal, membuat diriku tertempa, menjadi manusia menyejarah, misteri kerinduan dipermainkan dengan berbagai cara dan kehendak. 

 Akhirnya, aku mengenal siapa diriku. Manusia menjadi subjek dengan kehendakNya dan mewujudkan hubungan antar manusia dan pemilikNya. Kerinduan dan harapan tentang misteri dan fenomena . 

Fenomena batin dan kemampuan manusia bisa melihat gelombang peristiwa masa depan. Pengembaraan itu mengajarkan apa yang terbaik untuk hidupku. Setiap momen, baik pensiun dini dari kantor, kesempatan belajar menulis melalui Komunitas Literasi Finansial yang tak pernah habis-habisnya mengembangkan ketajaman dan kesempurnaan penulisan.

Aku ingin segera akhiri pengembaraan ini. Tapi rumahku belum juga selesai. Aku sudah berdamai, Aku memeluk diriku dengan tangan terbuka. Jika ada rasa sakit hati itu pun sudah bisa diselesaikan dengan baik dengan kontemplasii atau meditasi. Suara hatiku akan mendengarkan ajaran yang benar . Rumah terbaik itu memang dalam diri sendiri yang merasa aman dan nyaman ketika sudah bisa menemukan siapa diriku. 

 Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman