canva.com |
Dunia kerja yang aku geluti saat ini adalah dunia penulisan. Mau tidak mau aku yang sudah berusia senior ini harus memiliki media sosial. Kenapa? Saat aku ikut lomba menulis pasti diminta untuk sharing blog post ke media sosial. Intinya aku diminta untuk memamerkan hasil tulisan di media osial milikku.
Awalnya, aku ngga pernah membayangkan punya media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube, Twitter. Rasa khawatir, takut dan berjuta rasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Akhirnya setelah beberapa tahun menekuni dunia penulisan barulah aku merasa lebih pasrah dan lega untuk posting tulisan di media sosial sendiri.
Bahkan , akhir-akhir ini lebih sering “browsing” profil orang lain atau mengintip iklan-iklan yang bersliweran di sepanjang media sosial. Iklannya sekarang lebih banyak ketimbang posting yang bermanfaat.
Nach, suatu hari anak saya yang baru saja diterima di suatu perusahaan baru (setelah kena PHK). Di perusahaan baru ini, ada peraturan hari Senin pakai seragam biru, Selasa pakai seragam coklat, Rabu seragam biru, Kamis dan Jumat kenakan bebas Batik.
Berhubung anak tak pernah memiliki baju batik, maka baju batik saya diambilnya untuk dipakai di kantor.
Kehilangan 2 baju batik yang saya sukai, agak sedih juga. Tapi demi, anak yang dicintai, saya sudah merelakannya. Hanya terpikir bagaimana cari penggantinya.
Facebook.com |
Suatu hari ketika aku sedang pusing mau menulis ngga ketemu “insight”, aku sedang iseng browsing di Facebook, tiba-tiba mata tertuju dengan suatu penawaran baju-baju batik yang tampilannya sangat menarik. Dari sekian banyak foto-foto yang dipajang di etalasenya, segera aku tertarik yang satu ini.
facebook.com |
Tanpa pikir panjang aku segera klik saja.
Ternyata dengan klik “order” aku diarahkan ke suatu whatsapplication. Berbincang dengan admin tentang tanya harga, ukuran dan bagaimana cara ordernya. Setelah dilayani oleh admin, admin segera minta aku untuk segera membayar, tidak melayani COD.
Aku agak sedikit “deg”, loh biasanya kalo aku beli barang lewat e-commerce juga ngga pakai COD, langsung bayar tapi ada proses pembayaran yang sangat “secured”. Kenapa admin agak galak minta COD?
Sudahlah aku ngga mau pikir panjang. Selesai membayar, aku segera memberikan bukti bayarnya kepada admin.
Aku bertanya lagi, kapan akan diproses untuk pengiriman. Admin menjawab, sedang diproses.
Ternyata lima menit kemudian, ada chat yang masuk. Aku agak curiga kenapa profil chat ini menggunakan nama “Bea Cukai”. Loh, aku ngga pernah pesan apa-apa dari luar negeri. Lalu chat itu secara resmi menyatakan :
“Perkenalkan saya Kurnia Saktiyono petugas bea cukai di Bandara Soekarno Hatta paketan anda sudah sampai di bandara. TPI barang kami tahan . Krn itu tidak ada kelengkapan surat pajak PPN PPHnya, sy tanya ini barang pembelian lewat online atau kiriman dari keluarga?”
Nalarku segera jalan dengan mengatakan kepada diri sendiri: “Wah aku terjebak penipuan!”. Pertanyaan dari penipu itu tidak kujawab. Loh barang lokal kok pakai dikirim ke Bandara, dan pakai PPN PPH.
Jika kujawab, aku akn diarahkan untuk membayar atau diarahkan untuk klik suatu link dan amblaslah uang di akun. (Ini sudah sering aku dengar dari teman yang pernah terjebak).
Tetapi hampir tiap 2 jam selama hampir 5 hari berturut-turut, telponku berdering-dering terus. Teror dari penipu yang awalnya nama dari caller kuketahui bernama Bea Cukai, tiba-tiba ganti-ganti menjadi “Scammer”.
Baru kali ini aku kena terror loh, padahal aku khan ngga salah. Sudah kena tipu dengan hilangnya uang, masih kena teror. Wah benar-benar perasaan takut ditambah dengan khawatir terus mendera diriku.
Sambil berdoa aku minta agar suami ikut mendoakan agar teror ini segera berhenti.
Pelajaran mahal bagi diriku, untuk tidak membeli barang yang ditawarkan di media sosial .
Aku sudah lapor ke media sosial (Facebook), jawabannya sangat standar sekali. Tidak ditemukan adanya kejanggalan atau sudah memenuhi standar etika komunitas.
Kecewa berat khan!
Nach teman-teman aku pengin sedikit berbagi informasi agar kamu tidak terjebak dalam pembelian barang lewat media sosial, tapi gunakanlah e-commerce .
Ini alasannya mengapa media sosial harus dipisahkan dengan e-commerce:
Pemerintah telah mengesahkan suatu peraturan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha , Periklanan Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Jelas bahwa dalam aturan ini media sosial dilarang melakukan transaksi jual beli dalam platform aplikasi.
Adanya pemisahan antara bisnis di media sosial , e-commerce atau social commerce. Social commerce hanya diperuntukkan untuk memberikan penawaran barang atau jasa. PPMSE tidak berlaku untuk bisnis media sosial karena PPMSE tidak berikan fasilitas pembayaran pada system elektronik.
Bahaya dari media sosial melakukan bisnis media sosial sekaligus e-commerce:
1.Platform dapat memonopoli pasar
Sayangnya pengguna seperti saya tak sadar bahwa membeli produk tertentu yang jadi monopoli platform yang bisa menetapkan harga yang sesukanya, dan perlakuan berbeda harganya dan diskriminatif.
2.Platform bisa memanipulasi algoritma
Dengan mudahnya platform bisa memunculkan produk asing tertentu untuk terus muncul di media sosial pengguna, tapi mempersulit produk lokal untuk masuk ke dalamnya.
3.Platform bisa memanfaatkan traffic yang tinggi
Traffic yang tinggi menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce.
Oleh karena trigger ini tidak diperbolehkan dalam satu platform dengan media sosial.
4.Perlindungan konsumen
Pemprosesan data pribadi tidak sesuai dengan tujuan, Misalnya media sosial hanya untuk hiburan, tapi datanya dipakai untuk diperdagangkan.
5.Tidak ada verifikasi
Di Media sosial tidak ada validasi atau verifikasi penjual. Artinya kredibilitas penjual tidak ada. Jika di e-commerce, jika pembeli membeli barang dan membayar, maka uang itu akan ditahan dulu oleh pihak e-commerce sampai barang diterima oleh pembeli barulah penjual menerima dananya.
Nach, teman-teman, jika aku sudah mendapat pelajaran untuk tidak membeli barang lewat media sosial apalagi denganmelihat kelemahan di atas, maka Anda jangan masuk ke lubang yang sama, terjebak oleh penipu di media sosial.
Artikel ini adalah bagian dari Latihan komunitas LFI supported by BRI .
Tidak ada komentar
Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!