kompas.com |
Di Indonesia sering ditemukan anak-anak usia 1-5 tahun kemana-mana membawa gawai. Anggapan bahwa Gawai untuk anak identik dengan teknologi .
Orangtua merasa terganggu oleh anak karena sedang sibuk dengan pekerjaan. Anak merengek terus tanpa bisa diajak bicara, membuat orangtua mencari solusi yang paling mudah, memberikan gawai kepada anak.
Pemberian gawai kepada anak hanya sekedar pelampiasan dari orangtua untuk menghindari kerepotan mengurus anak yang seringkali rewel dan mengganggu konsentrasi pekerjaan kita.
Namun, sayangnya orangtua atau ibu tak menyadari sepenuhnya bahwa gawai yang tadinya hanya pelipur lara bagi ibu untuk menghindari “kerempongan” anak, ternyata bisa berbalik arah .
Anak yang sudah sangat lekat dengan gawai, sampai lupa makan,tidur, matanya hanya tertuju kepada layar gawai.
Anak-anak lupa bahwa dunia anak yang penuh dengan tawa ceria, sedih , tersakiti oleh teman, emosi marah terhadap teman yang mengambil barangnya, tidak pernah dirasakan olehnya.
Dia hanya kenal dunia maya saja. Bahkan, tak bisa mengenali emosi dirinya karena tidak pernah bergaul dengan teman-temannya yang sering menjadi pergulatan emosi.
Dalam jangka panjang konsekuensi pemakaian gawai menggantikan peluang anak mengembangkan metode regulasi diri, kata Radesky kepada Science daily ,12 Desember 2022.
Berdasarkan studi pada 422 oragntua dan 422 anak usia anak 3-5 tahun pada Agustus 2018 hingga Pebruari 2022, di antaranya perubahan suasana hati tiba-tiba dan perilaku impulsive.
Bahkan studi di jurnal JAMA Pediatrics juga menemukan penggunaan gawai pada anak prasekolah berdampak lebih besar pada anak laki-laki serta anak berperilaku hiperaktif dan impulsive.
Para pengguna gawai akan bereaksi lebih kuat pada emosi mereka seperti marah, frustrasi, dan sedih yang berlebihan.
Pemberian gawai kepada anak dengan tujuan menenangkan akan berdampak kuat pada anak yang sebelumnya bermasalah, khususnya anak berusia 2-5 tahun, anak mulai belajar meregulasi emosi.
Jika pada usia itu, proses itu diganggu oleh gawai, pemerolehan regulasi diri anak akan lebih lambat lagi. Semakin awal anak diberikan gawai, kian lambat pula anak belajar meregulasi diri.
Solusi alternatif untuk mengindari penggunaan gawai sebagai alat utama menenangkan anak, Radesky mengusulkan sejumlah alternatif.
Salah satunya melalui pendekatan atau teknik sensorik dengan menyalurkan energi mereka melalui gerak tubuh.
Setiap anak memiliki profil unik, termasuk jenis rangsangan sensorik menenangkan mereka. Ada anak yang tenang saat bermain ayunan, dipeluk , meremas clay alias malam, mendengarkan music, membaca buku.
Saat anak tidak tenang, arahkan tubuhnya kepada hal yang mereka sukai.
Cara lain adalah dengan menyebutkan emosi tertentu dan cara mengelola emosi itu. Saat orangtua melabeli anak dengan hal yang mereka pikir hal itu akan menghubungkan orangtua dan anak dengan bhasa yang menggambarkan emosinya.
Contohnya, warna biru bisa dipakai untuk menunjukkan rasa bosan, hijau untuk kondisi tenang, kuning untuk cemas dan merah menunjukkan amarah.
Saat anak merasakan sesuatu ,anak bisa meminta menunjukkan wara yang menggambarkan apa yang yang sedang di otak tubuh dan hati mereka rasakan.
Cara lain anak dilatih untuk mengomunikasikan emosi dengan perilaku yang lebih aman dan memecahkan masalah.
Perilaku alternatif mengomunikasikan emosi itu, antara lain jika anak suka memukul saat kesal, katakan memukul itu menyakit orang.
Saat mereka ingin mengekspresikan kemarahannya, alihkan kebiasaan itu dengan memukul bantal.
Orangtua harus mengatur kapan dan dimana anak boleh memakai gawai .
Jika terlambat menyadari hal itu , akan sulit bagi seorang anak yang sudah bertambah usia menjadi dewasa . Terlambat ketika emosi sudah tidak bisa dilatih lagi.
Tidak ada komentar
Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!