www.inatanaya |
Musdalifah, seorang siswi kelas III Sekolah Negeri Samarinda . Ia memilki semangat belajar tinggi. Sayangnya dia terpaksa absen dari sekolah sejak sekolah mengharuskan untuk belajar online karena ia tak memiliki gadget.
Musdalifah, gadis kecil yatim dan ayahnya sedang menjalani hukuman dalam penjara, tinggal bersama bibinya yang miskin. Beratnya kehidupan bibi Musdalifah dengan empat orang anak ditambah dengan dua anak keponakan. Suami bibi Musdalifah hanya bekerja serabutan.
Musdalifah pernah dipinjami gadget yang sudah rusak. Sayangnya, gadget yang memang sudah rusak itu tak bisa dipergunakan lagi.
Ketika sekolah Musdalifah sudah dibuka untuk tatap muka, dia masuk ke sekolah untuk ujian sekolah.
Teman-temannya berteriak-teriak seolah mengusir kepada Musdalifah , sementara gurunya minta anak itu pulang untuk memanggil wali atau orangtuanya.
Dengan sedih sekali hati Musdalifah pulang ke rumah.
Teriakan teman dan guru yang minta dirinya pulang itu sungguh menyakiti dirinya. Dia seperti tak ingin sekolah lagi.
Lebih menyedihkan tidak ada suara hati guru untuk bisa menerima kondisi anak dengan latar belakang anak yang tak punya gadget.
Jelas bahwa faktor kondisi ekonomi yang membuat Musdalifah tak bisa memiliki gadget.
Apakah hal ini kesalahan Musdalifah? Jika dia bisa memilih, tentu dia ingin lahir di tempat orangtuanya yang kaya, mampu membelikan gadget untuk sekolah. Bahkan, dia tak usah menanggung malu karena tak bisa bersekolah tanpa gadget.
Gadget untuk anak di kota besar
Kebiasaan kita menyambut tamu adalah dengan menjamu. Bayangkan, hampir 2 tahun, tak ada seorang pun berani datang ke rumah saya. Covid membuat rumah kami steril dari tamu atau keluarga.
Ketika saya kedatangan tamu, keponakan dan cucu keponakan, rasanya bahagia bercampur haru.
Cucu keponakan yang sudah menginjak remaja, dan yang sudah mulai menginjak SD. BErapa tahun kami tak pernah bertemu satu dengan yang lainnya. Saya tak paham dengan kesukaan makanan mereka karena belum pernah mengenal satu per satu.
Kuingat-ingat anak-anak pasti suka dengan ayam goreng, jadi suguhan nasi uduk jadi pilihanku. Pemesanan mendadak satu hari sebelum mereka datang. Beruntung masih diterima dan berharap anak-anak ini suka dengan apa yang kupikirkan.
Begitu mereka datang, aku bertemu dengan anak-anak seusia 12 tahun dan seusia 6 tahun. Tiga lelaki dan dua perempuan. Wah mereka sangat sopan, mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri mereka. Mereka memanggilku “Oma”, serasa usia seniorku makin tua.
Hanya lima menit berkenalan, mereka sudah duduk di kursi dengan tenang. Gadget yang ada dalam genggaman tangan mereka langsung dimainkan. Sunyi tanpa pembicaraan apa-apa. Yang terdengar mata dan tangan mungil yang menghentakkan tombol tuts .
Sesekali, mereka berteriak, “wah kalah aku”. Saya tak paham apa yang mereka mainkan. “Ini, game seru oma. Oma bisa pilih mana yang ingin mainkan. Tapi yang paling seru games (terdengar nama game yang tak saya ingat)”.
Terhenyak aku terduduk. Wah anak zaman now, usia baru menginajak 6 tahun pun sudah mahir dengan jarinya yang lincah mempermainkan tuts untuk game yang mereka sukai. Hampir dua jam mereka tak bergeming.
Orangtuanya asyik ngobrol, tapi anak-anak mereka pun ikut terhanyut dalam keasyikan permainan game.
Aku juga tak menyangka bahwa anak-anak ini punya gadget berkelas tinggi. Bukan hanya brand murahan, tapi yang sudah masuk kelas berat dan mahal.
Ironi, dua sisi kehidupan anak dengan latar belakang yang berbeda. Yang pertama, anak-anak di sekitar saya , punya fasilitas lengkap termasuk gadget yang berkelas , mudah mendapatkan dari orangtuanya. Gadget digunakan bukan sekedar untuk sekolah tapi untuk game dan lain-lainnya.
Semua perlengkapan komplit ada di gadget.
Sementara yang kedua, anak yang wali orangtuanya tak mampu membeli gadget terpaksa tak bisa bersekolah dan terpinggirkan dari dunia pendidikan.
Makna gadget:
Gadget bukan untuk kenyamanan dan kenikmatan anak-anak. Dunia pendidikan kita sudah bergeser , anak yang punya dana untuk beli gadget, digunakan untuk suatu “luxury”, kemewahan hidup.
Di beberapa negara maju, anak-anak di bawah usia 10 tahun belum diperbolehkan untuk gunakan gadget. Gadget akan mempengaruh organ otak dan mata sebelum waktunya.
Pada saat covid, anak terpaksa menggunakan gadget untuk media belajar.
Sayangnya, ada salah penggunaan gadget untuk permainan /game , konten creator oleh anak-anak.
Kurikulum pembelajarann merdeka, masih menerapkan sebagian pembelajaran secara online tetap masih berlaku, sementara sebagian lagi melakukan pembelajaran tatap muka.
Orangtua diperbolehkan untuk memilih system mana untuk pembelajaran anaknya.
Monitor dari orangtua dan sekolah menjadi pekerjaan rumah agar anak-anak tidak candu dengan gadget.
Tidak ada komentar
Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!